Friday, August 9, 2013

Stasiun


Sinopsis:

Adinda putus dengan pacarnya. Kini tak ada lagi Rangga yang biasa mengantarjemput. Tiap pagi Adinda harus naik kereta dari Bogor ke kantornya di Jakarta. Harinya berawal dengan teriakan pedagang asongan, sampah yang bertebaran di peron, para penumpang yang berkeringat dan tergesa, bahkan aksi copet. Masa lalu pun kerap memberatkan langkah.

Ryan "anak kereta" sejati, bersahabat dengan para pedagang kios di sepanjang peron. Bertahun-tahun dia pulang-pergi Bogor-Jakarta naik kereta. Di balik beban kerja yang menyibukkan, ada kesepian yang sulit terobati, apalagi ketika seorang sahabat meninggal.

Tiap pagi mereka menunggu kereta di peron yang kadang berbeda. Tapi jalur yang sama memungkinkan langkah dan hati mereka bertautan. Stasiun jadi saksinya.





Plot cerita ini sangat sederhana; Adinda dan Ryan, "anak-anak kereta" Bogor-Jakarta, yang saling bertemu.

Dimulai dari sudut pandang Adinda, ketika dia berada di stasiun bersama sahabatnya, Sasha. Perlahan-lahan diceritakan bagaimana Adinda menjadi "anak kereta". Bagaimana putusnya hubungan dia dan pacarnya membuatnya masih terbayang hingga saat itu. Bagaimana dia yang terbiasa pulang-pergi ke kantor diantar jemput oleh (mantan) pacarnya, harus menumpang kereta agar bisa sampai ke kantor. Dan bagaimana berbedanya dia dengan Sasha, meskipun mereka bersahabat.

Sasha sangat peduli dengan orang sekitar, sementara Adinda memilih untuk tidak acuh. Sasha lebih suka naik kereta ekonomi, sementara Adinda setiap hari menaiki Commuter Line karena tidak suka berdesakan.

Lalu di bab selanjutnya ada Ryan, mengawali hari dengan celotehan Ibunya yang menyuruhnya untuk mencari istri agar ada yang mengurus, terlebih karena Ibu sudah ingin--apa lagi--menimang cucu. Ryan bersahabat dengan Pak Rudy, penjual buku bekas di stasiun, dan Pak Eko, penjual koran.

Setiap bab memiliki narator yang bergantian, antara Adinda dan Ryan. Malah, di satu bab mereka saling bergiliran untuk bercerita.

Oke... yang saya suka dulu saja, ya. Pertama-tama, saya suka ide ceritanya. Sederhana, tidak begitu ribet. Pas dengan bukunya yang tipis.

Kedua, di beberapa halaman terakhir sempat terjadi adegan yang membuat saya senyum-senyum sendiri dan gemas ke pada kedua narator kita. Ini perkembangan, setelah sebelumnya saya merasa bosan (yang akan dijelaskan lebih lanjut di bawah).

Yang saya gak sukanya...

Pertama, ini omnibook, ya? Kenapa tidak ada label omnibook di sampul depan? Saya tidak memiliki masalah dengan omnibook atau kumpulan cerpen, tapi saya merasa buku ini bisa lebih baik jika berbentuk novel; dengan karakteristik yang berkembang dan alur yang jelas.

Kedua, isu sosial yang banyak diangkat di buku ini... oke. Kebanyakan penulis hanya berfokus ke pada cinta dan chemistry antara dua tokoh utama. Tapi, jadinya terkesan dipaksakan dan malah menggurui pembaca. Seakan-akan isu sosial itu diambil hanya karena penulis tidak tahu mau menulis apa lagi.

Ketiga, saya sangat setuju dengan review ini, tentang tidak ada chemistry di antara Adinda dan Ryan. Baru berapa kali bertemu, kok cepat sekali Adinda move on dari mantannya? Bukannya baru beberapa hari yang lalu dia masih mikirin ya? Karakteristiknya juga tidak jelas. Adegan-adegan flashback yang seharusnya bisa menunjukkan pembaca tentang siapa tokoh-tokoh itu sebenarnya malah membuat karakter mereka semakin tidak jelas dan dipaksakan...

Mau dibilang kecewa, tidak juga. Karena saya tidak banyak berharap, ketika melihat buku ini di Togamas dengan harga cukup terjangkau, saya langsung membelinya karena siapa tahu bisa langsung selesai dalam waktu sehari, buku ini kan cukup tipis.

Tapi buku ini juga sebenarnya berpotensi untuk menjadi lebih bagus; omnibook yang sebenarnya bisa menjadi novel, karakteristik, dan alur.

Semoga saja buku penulis selanjutnya bisa lebih baik.

2/5

Judul: Stasiun
Penulis: Cynthia Febrina
Penerbit: PlotPoint
Tebal: 188 halaman
ISBN 9786029481365

No comments:

Post a Comment

Thank you for reading! :D