Roman Tetralogi Buru mengambil latar belakang dan cikal bakal nation Indonesia di awal abad ke-20. Dengan membacanya waktu kita dibalikkan sedemikian rupa dan hidup di era membibitnya pergerakan nasional mula-mula, juga pertautan rasa, kegamangan jiwa, percintaan, dan pertarungan kekuatan anonim para srikandi yang mengawal penyemaian bangunan nasional yang kemudian kelak melahirkan Indonesia modern.
Roman bagian pertama; Bumi Manusia, sebagai periode penyemaian dan kegelisahan dimana Minke sebagai aktor sekaligus kreator adalah manusia berdarah priyayi yang semampu mungkin keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang bebas dan merdeka, di sudut lain membelah jiwa ke-Eropa-an yang menjadi simbol dan kiblat dari ketinggian pengetahuan dan peradaban.
Pram menggambarkan sebuah adegan antara Minke dengan ayahnya yang sangat sentimentil: Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku lihat dilakukan punggawa terhadap kakekku dan nenekku dan orangtuaku, waktu lebaran. Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati itu duduk enak di tempatnya. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajari tahun demi tahun belakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu .... Sembah pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri! Sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini.
"Kita kalah, Ma," bisikku.
"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."
Kalau saja Minke tidak mengiyakan ketika Robert Suurhof mengajaknya pergi ke rumah keluarga Mellema, mungkinkah semua yang ada di buku ini tidak terjadi?
Mungkinkah Minke tidak akan datang dan bertemu Annelies dan jatuh cinta?
Mungkinkah Minke tidak akan bertemu Nyai Ontosoroh yang begitu hebat dan mengagumi Beliau?
Mungkinkah Minke tidak akan tinggal di sana dan menemukan masalah-masalah yang bahkan besar untuk seorang laki-laki berumur 18 tahun?
Nyatanya, itulah yang dilakukannya. Dia pergi ke rumah keluarga Mellema, bertemu Robert dan Annelies Mellema. Dan juga bertemu Nyai Ontosoroh. Ketika dia pulang, dia tidak bisa tidak memikirkan keluarga itu. Betapa anehnya melihat Annelies bekerja dan tidak sekolah. Betapa anehnya melihat seorang Nyai bekerja, melakukan apa yang seharusnya suaminya lakukan.
Lantas, di mana Tuan Mellema?
Minke bertemu dengannya saat makan malam. Ternyata Tuan Mellema tidak suka melihat seorang Pribumi ada di rumahnya. Iya, Minke memang seorang Pribumi yang mendapat pendidikan Eropa, bersekolah di H.B.S.
Tapi pendidikan yang dia dapat tidak dapat membuatnya tidak tercengang ketika Nyai Ontosoroh menghardik suaminya agar tidak mengganggu Minke.
Siapa sebenarnya Nyai Ontosoroh? Bagaimana pun juga... dia seorang Nyai, seorang gundik, seorang perempuan Pribumi yang menikahi laki-laki Eropa Totok secara tidak sah... bahkan dia tidak memiliki hak atas anak-anaknya.
Keanehan itu lah yang membuat Minke penasaran dan memutuskan untuk tinggal bersama keluarga itu, meskipun akhirnya kelakuannya menyebabkan gosip tidak enak yang beredar di sekolahnya.
----
Yang saya sukai dari novel ini adalah penokohannya. Nyai Ontosoroh yang kuat dan keras terhadap anak-anaknya, Annelies yang rapuh, Robert Mellema yang keras kepala, bahkan Dokter Martinet yang terus menduga-duga.
Awalnya, saya kira membaca novel ini akan terasa "berat" karena gaya penulisannya, tapi ternyata saya salah. Di awal, saya memang mendapat kesulitan membaca istilah-istilah yang tidak saya ketahui, tapi lama-kelamaan saya terbiasa.
Di novel ini juga, diceritakan tentang rasisme. Bagaimana Minke, satu-satunya orang Pribumi di sekolah yang penuh dengan orang-orang Eropa atau Indo, dipandang sebelah mata oleh teman-teman dan gurunya, kecuali Juffrouw Magda Peters. Dan ini membuat saya kesal; mereka orang-orang luar, datang hanya untuk merusak, mengambil kekayaan negeri ini, dan menginjak-injak bangsa ini.
Tapi surat-surat dari Sarah dan Miriam de la Croix membuat saya tersadar... tidak ada hitam-putih di dunia ini. Tidak ada yang betul-betul salah, dan tidak ada yang betul-betul benar. Semuanya abu-abu.
Kenapa Indonesia bisa dijajah selama kurang-lebih 3 abad juga... karena kesalahan kita sendiri.
Kita terlalu terpuruk dalam keadaan dan tidak ingin mengubahnya. Mungkin kita mengandalkan orang lain, tapi apakah mungkin orang lain juga mengandalkan kita? Saling mengandalkan, menunggu salah satu berinisiatif untuk berbuat sesuatu dan yang lain mengikuti... itu lah perilaku jelek yang masih ada sampai sekarang.
Bisa ditebak, tokoh yang saya kagumi adalah Nyai Ontosoroh. Pribumi yang tidak pernah bersekolah, dijual oleh orangtuanya... apa yang menyebabkan dia menjadi seperti sekarang, bisa membaca, bahkan memimpin perusahaan? Tidak bisa dibayangkan kalau saya tinggal di zaman seperti itu, ketika sudah menstruasi langsung dipingit (bayangkan saja, Nyai Ontosoroh kawin di umur 14 tahun--itu umur di mana saya baru menikmati tahun pertama SMA), menunggu laki-laki datang ke rumah untuk menikah, dan mending jikalau laki-laki itu tidak punya istri sebelumnya... bahkan untuk membaca pun tidak bisa, karena tidak diajarkan.
Dan, inilah kata-kata yang terus menempel di otak saya (iya, ini sebenarnya diketik ulang dari bukunya):
"Pertama wisma, Gus, rumah. Tanpa rumah orang tak mungkin satria. Orang hanya gelandangan, Rumah, Gus, tempat seorang satria bertolak, tempat dia kembali. Rumah bukan sekedar alamat, Gus, dia tempat kepercayaan sesama pada yang meninggali.
"Kedua wanita, Gus, tanpa wanita satria menyalahkan kodrat sebagai lelaki. Wanita adalah lambang kehidupan dan penghidupan, kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan. Dia bukan sekadar istri untuk suami. Wanita sumbu pada semua, penghidupan, dan kehidupan berputar dan berasal. Seperti itu juga kau harus pandang ibumu yang sudah tua ini, dan berdasarkan itu pula anak-anakmu yang perempuan nanti kau harus persiapkan.
"Ketiga turangga, Gus, kuda itu, dia alat yang dapat membawa kau ke mana-mana: ilmu, pengetahuan, kemampuan, ketrampilan kebisaan, keahlian, dan akhirnya--kemajuan. Tanpa turangga takkan jauh langkahmu, pendek penglihatanmu.
"Keempat kukila, burung itu, lambang keindahan, kelangenan, segala yang tak punya hubungan dengan penghidupan, hanya dengan kepuasan batin pribadi. Tanpa itu orang hanya sebongkah batu tanpa semangat. Dan kelima curiga, keris itu, Gus, lambang kewaspadaan, kesiagaan, keperwiraan, alat untuk mempertahankan yang empat sebelumnya. Tanpa keris yang empat akan bubar bisana bila mendapat gangguan..."
Saya kurangi 0.5 karena di bagian awal yang masih terasa kaku. Tapi secara keseluruhan, novel ini memang benar-benar pantas untuk dikatakan Sumbangan Indonesia untuk Dunia.
4.5/5
Judul: Bumi Manusia
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
535 halaman
ISBN 9799731232
sejak dulu tertarik baca bukunya Pramoedya Ananta Toer tapi belum berminat untuk memulai #kusut
ReplyDeleteHehehe baca dong, Mbak! :D
Deletekarna aku nggak tau ini tetralogi, dulu aku baca buku ke-4 nya dulu, haha...konyol deh. sampe sekarang belum baca lagi deh. harus mulai dr buku 1 lagi sepertinya :)
ReplyDeleteEnding-nya gimana, Mbak? #loh
Deletemasih tertimbun, kalah deh ama Aul yang udah baca :)
ReplyDeleteYah padahal baca bareng aja, Mas. :D
Delete